• Selayang Pandang

  • Arsip

  • April 2011
    S S R K J S M
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  
  • Tertinggi

    • Tidak ada

CALON PRESIDEN PERSEORANGAN


Oleh : Safrudin HS, S.IP

Wacana memunculkan calon presiden dari unsur Perseorangan nampaknya akan debatable. Artinya bahwa ada tarik menarik kepentingan antara usulan yang diajukan DPD dan upaya yang akan dipertahankan akan keberadaan hegemoni partai politik sebagai pemegang hak tunggal pengajuan calon presiden sebagai peserta pemilu.

Wacana capres dan cawapres dari perseorangan dalam hal ini bisa mengurangi peran partai politik sebagai sarana perekrutan  calon pemimpin di tingkat nasional. Dan sebaliknya memberi ruang yang luas bagi anak bangsa yang memiliki kemampuan kepemimpinan di tingkat nasional.

Gerakan DPD untuk dapat meloloskan aspirasi ini tentunya dihadang masalah terutama syarat mengajukan amandemen UUD 1945. Tanpa mengamandemen UUD 1945 mustahil keiinginan untuk ketentuan capres perseorangan bisa lolos.

Langkah DPD untuk merubah pasal 6 A UUD 1945 adalah pengajuan draf baru pasal 6 A dengan bunyi “Pasangan calon Presiden dan wakil presiden berasal dari usulan partai politik peserta pemilihan umum atau Perseorangan”.

Draf usulan ini didasari pemikiran untuk mewujudkan DEMOKRATISASI dalam pemilu Presiden, bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Kedua untuk memberi ruang yang seluas-luasnya bagi anak bangsa yang memiliki kemampuan untuk memimpin bangsa yang besar. Sesungguhnya semua warga Negara adalah sama di depan hukum dan pemerintahan, alasan inilah sebagai penguat bahwa perseorangan perlu dimunculkan dalam pemilu presiden mendatang.

 

Mengapa calon perseorangan ?

Ada beberapa alasan untuk memunculkan calon Presiden Perseorangan antara lain :

Pertama, Capres Peseorangan dapat mengurangi oligargi Partai politik.

Kedua, capres  perseorangan dapat mencegah oligargi partai politik.

Ketiga, capres perseorangan akan dapat mengurangi dan bila perlu upaya pencegahan politik transaksional yang dipamerkan dan diperankan oleh partai politik selama pemilu presiden dan pemilu kepala daerah.

Keempat, capres perseorangan  memberi ruang yang seluas luasnya kepada masyarakat untuk mencalonkan diri secara terbuka. Dengan kata lain ada gerakan demokratisasi yang luas kepada warga untuk menjadi pemimpin di tingkat nasional. Prinsip persamaan perlakukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan.

Kelima, Memungkinkan kader partai yang memiliki suara /kursi kurang untuk beralih ke pencalonon lewat perseorangan. Adalah sangat mungkin ketua partai politik yang minim kursi namun akan berjaya dan didukung masyarakat dalam pencalonan perseorangan.

Keenam, sebagai upaya sinkronisasi pemilihan kepala daerah yang sudah mengakomodir calon perseorangan. Bial Pemilu kada sudah dapat berjalan dengan munculnya peserta dari Perseorangan. Maka sangat mungkin kedepan capres perseorangan akan menjadi alternatif pilihan masyarakat dan sangat mungkin hal ini juga dapat memicu untuk peningkatan warga mendatangi TPS.

Menurut pakar politik Indra J.Piliang,  mendukung adanya amendemen UUD 1945 menyangkut calon presiden perseorangan ini. Argumen-argumennya adalah:

Pertama, agar terjadi kesinambungan antara pilkada dan pilpres. Apabila pilkada membolehkan calon perseorangan, mengapa pilpres sama sekali mengabaikan itu? Bukankah sama-sama eksekutif? Putusan Mahkamah Konstitusi soal calon kepala daerah secara perseorangan tentu berbeda dengan pilpres. Bagaimanapun, MK tidak bisa memutuskan majunya calon perseorangan dalam pilpres, mengingat kewenangannya dibatasi oleh UUD 1945. Satu-satunya jalan adalah amendemen UUD 1945 oleh MPR RI.

Kedua, agar tak terjadi kevakuman hukum ketika “matematika politik” ala UU Pilpres diterapkan. Misalnya, dalam pilpres 2009 hampir saja hanya Partai Demokrat yang menjadi satu-satunya kontestan pemilu presiden ketika partai-partai politik lain menggugat keabsahan Daftar Pemilih Tetap (DPT). PDI Perjuangan, Partai Hanura, dan Partai Gerindra sudah mengadakan konferensi pers untuk tidak akan berpartisipasi dalam pilpres apabila DPT tidak diperbaiki. Singkat kata, kehadiran Jusuf Kalla sebagai calon presiden membuka ruang untuk tidak terjadinya kevakuman hukum itu.

Ketiga, agar partai politik tidak lagi mematok angka terlalu tinggi sebagai syarat pengajuan pasangan calon presiden-wakil presiden. Jumlah 20 persen kursi di DPR RI atau 25 persen suara sah dalam pemilu legislatif sebelumnya itu terlalu tinggi. Sebaiknya, syarat calon presiden-wakil presiden sebanding dengan angka parliamentary threshold (PT). Jadi, apabila UU tentang Pemilu Legislatif nanti memutuskan angka PT sebesar 5 persen, misalnya, maka itulah angka yang dipatok untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden-wakil presiden. Artinya, partai politik mana pun yang lolos ke parlemen nasional layak mengajukan pasangan calon presiden-wakil presiden. Kalaupun ada pertimbangan kekuatan politik di DPR, sebaiknya angka itu dilipatduakan saja menjadi 10 persen, dalam arti terjadi koalisi minimal dua partai politik dari angka syarat terendah PT.

 

Tantangan Parpol

Munculnya wacana capres perseorangan sesungguhnya merupakan tamparan bagi parpol peserta pemilu. Mengaga  ? hal ini tentu ada alasan kuat terutama adalah  pertama, ada anggapan bahwa calon presiden yang dimunculkan oleh partai politik telah mengecewakan masyarakat.

Kedua, ada anggapan bahwa peran parpol dalam rekrutmen kepemimpinan nasional dianggap gagal atau tidak mampu menampilkan kepemimpinan nasional yang terbaik.

Ketiga, ada anggapan bahwa pemunculan wacana capres perseseorangan merupakan kritik pedas atas peran yang dimainkan parpol selama ini dan mengecewakan masyarakat.

Keempat, parpol telah mengebiri hak anak bangsa yang memiliki kemampuan kepemimpinan nasional tetapi tidak diakomodir oleh partai politik.

Namun semua itu kembali pada pertanyaan apakah dengan mewacanakan capres perseorangan nantinya akan mendapat kepemimpinan nasional yang baik dan atau mungkin akan menjadikan Negara ini lebih demokratis dan dapat mensejahterakan masyarakat ?

Untuk itu semua bahwa perlu kita kembali kepada Pancasila yang mengamanatkan sila keempat bahwa “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam persmusyawaratan/perwakilan”.

Jangan sampai kemudian kita berpesta demokrasi dengan demokrasi yang melenceng dari Panacasila yang telah menjadi kesepakatan kita sebagai bangsa.

Safrudin HS,S.IP Anggota KPUD Pemalang

Tinggalkan komentar